Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara resmi mengenakan tarif impor sebesar 32% kepada Indonesia, sebagai bagian dari kebijakan reciprocal tariff atau tarif timbal balik. Kebijakan ini diumumkan langsung dari Gedung Putih pada Rabu (2/4/2025) waktu setempat.
Trump menyebut ketidakseimbangan hambatan dagang tarif dan non-tarif yang diberlakukan oleh negara mitra sebagai pemicu kebijakan ini. Menurutnya, kebijakan dagang negara-negara mitra selama ini merugikan kepentingan ekonomi dan keamanan nasional AS.
“Sebagaimana terindikasi pada defisit tahunan perdagangan barang AS yang besar dan terus menerus, hal ini merupakan ancaman yang luar biasa terhadap keamanan nasional dan ekonomi AS,” ujar Trump dalam keterangan resmi Gedung Putih, Kamis (3/4/2025).
Trump juga menyoroti perbedaan tarif yang besar. Sebagai contoh, tarif impor mobil ke AS hanya 2,5%, sedangkan Uni Eropa menerapkan 10%, India 70%, dan China 15%. Untuk produk etanol, AS hanya mengenakan tarif 2,5%, sementara Indonesia 30%.
“Brasil dan Indonesia menerapkan tarif lebih tinggi untuk etanol yakni 18% dan 30%, jauh dari AS yakni 2,5%,” ungkap Trump.
Selain tarif, hambatan non-tarif juga jadi sorotan, seperti hambatan impor dan perizinan, bea cukai, standar teknis, sanitasi dan fitosanitasi, hingga perlindungan berlebihan terhadap perusahaan negara.
“Diskriminasi yang menguntungkan perusahaan milik negara dalam negeri, dan kegagalan pemerintah dalam melindungi standar ketenagakerjaan dan lingkungan; penyuapan; dan korupsi,” lanjutnya.
Kepentingan Fiskal Jadi Motif Utama
Meski Trump menyatakan ini sebagai bentuk keadilan dagang, sejumlah ekonom menilai langkah ini bermuatan politis dan fiskal. Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, mengatakan:
“Tarif adalah pajak terselubung, yang bisa dinarasikan sebagai upaya melindungi industri dan menciptakan lapangan kerja. Padahal, yang membayar tarif adalah konsumen AS, dan bagi pemerintah federal, tarif adalah pendapatan negara.”
Ia menilai kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kondisi defisit anggaran AS yang tahun ini diperkirakan mencapai 6,3% dari PDB dan utang menembus US$56 triliun pada 2034.
Kebijakan domestik Indonesia seperti TKDN, kewajiban DHE SDA 100%, dan aturan impor ketat, juga dinilai berkontribusi meski hanya jadi justifikasi tambahan.
Ekonom CSIS, Deni Friawan, menambahkan:
“Ini berlaku bukan hanya untuk Indonesia saja, tetapi untuk banyak negara di dunia, terutama yang memiliki surplus perdagangan terhadap AS atau punya kedekatan dengan China.”
Penulis : Putri Salsabila Irawan
sumber : Bisnis.com