Taipan Tiongkok Dorong Pertumbuhan Industri Aluminium di Indonesia
Dilansir melalui SCMP pada (10/07/2025). Para taipan industri logam asal Tiongkok sedang mempercepat pembangunan industri aluminium di Indonesia melalui proyek-proyek senilai miliaran dolar. Langkah ini mencerminkan strategi serupa yang sebelumnya mereka terapkan di sektor nikel Indonesia, yang secara signifikan telah mengguncang pasar global logam tersebut.
Dengan menghadapi pembatasan produksi di dalam negeri, perusahaan-perusahaan besar Tiongkok seperti Tsingshan Holding milik Xiang Guangda, China Hongqiao, dan Shandong Nanshan Aluminum milik Song Jianbo kini mengalihkan fokus investasi mereka ke Indonesia. Mereka menanamkan dana besar untuk mendirikan pabrik peleburan dan kilang baru di negara Asia Tenggara tersebut.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa produksi aluminium Indonesia dapat melonjak hingga lima kali lipat pada akhir dekade ini. Namun, pelaku pasar logam saat ini mempertanyakan apakah aliran investasi dari Tiongkok ini dapat terus berjalan tanpa mengganggu prospek jangka panjang dari logam yang sangat penting untuk berbagai industri, mulai dari minuman kaleng hingga robotika dan kendaraan listrik.
Pengalaman dari industri nikel menjadi pengingat. Sebelumnya, Indonesia hanya menyumbang sekitar 7 persen dari produksi tambang nikel dunia, tetapi kini telah mendominasi hampir 60 persen produksi global. Hal ini dimungkinkan berkat ketersediaan energi batu bara murah dan kehadiran smelter milik Tiongkok. Perusahaan besar seperti BHP Group pun akhirnya menutup operasi mereka di Australia dan wilayah lainnya karena tidak mampu bersaing. Bahkan, pertumbuhan industri nikel Indonesia saat ini menghadapi tekanan akibat keberhasilannya sendiri.
“Selama lima tahun ke depan, Indonesia akan menjadi pusat industri aluminium global,” ujar Alan Clark, direktur dari konsultan logam CM Group, dikutip dari SCMP.
“Sangat menarik untuk melihat perkembangan sektor nikel global dan membandingkannya.”
Cadangan bauksit di Indonesia, meskipun tidak sebesar cadangan nikel kadar rendah yang sebelumnya mendorong transformasi industri, tetap cukup untuk mendukung pengembangan industri peleburan berskala besar. Ini ditunjang oleh biaya tenaga kerja yang rendah serta pembangkit listrik tenaga batu bara.
Bagi para pemimpin Indonesia, keberhasilan industri aluminium ini menawarkan peluang untuk memperkuat sektor manufaktur, membuka lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Inilah yang menjadi latar belakang keputusan Presiden Joko Widodo melarang ekspor bauksit pada tahun 2023. Presiden terpilih Prabowo Subianto juga tetap berkomitmen pada kebijakan hilirisasi ini, yang diharapkan dapat mendukung program-program besar seperti penyediaan makanan gratis di sekolah dan pembentukan dana kekayaan negara.
Mendirikan satu kilang membutuhkan investasi sekitar US$1 miliar. Meskipun merupakan jumlah besar, banyak perusahaan Tiongkok menganggapnya sebagai harga yang sepadan untuk menjamin pasokan bahan baku. Tahun ini saja, tiga kilang alumina baru akan mulai beroperasi. Setidaknya tiga kilang tambahan ditargetkan mulai beroperasi hingga akhir tahun 2027. Menurut konsultan CRU Group, kapasitas produksi Indonesia diperkirakan meningkat lebih dari lima kali lipat, yang dapat menempatkan Indonesia di jajaran produsen aluminium teratas dunia.
Kemajuan juga terlihat di sektor peleburan. Saat ini, sudah ada dua pabrik peleburan aluminium yang beroperasi di Indonesia, dan empat lagi direncanakan akan aktif pada akhir dekade ini, menurut Goldman Sachs.
Larangan ekspor bauksit oleh Indonesia semula mendorong Tiongkok untuk mencari alternatif pasokan dari Guinea, produsen bauksit terbesar di dunia. Namun, Guinea kemudian memperketat kendalinya dengan mencabut izin tambang perusahaan yang tidak membangun kilang di dalam negeri. Kebijakan tersebut justru memperkuat keinginan Tiongkok untuk mendiversifikasi sumber pasokan mereka.
Beberapa taipan logam dari Tiongkok memilih membangun pabrik secara bertahap atau memberikan dukungan finansial kepada pemain lokal yang tidak memiliki akses pendanaan. Hal ini diungkapkan oleh Agustinus Tan, Presiden Direktur Laman Mining.
“Ada beberapa pabrik yang tutup, dan mereka menawarkan untuk mengakuisisi mesin-mesin tersebut,” kata Tan, yang perusahaannya merencanakan pembangunan kilang pada tahun depan.
“Lebih baik jauh dari pengguna produk akhir daripada jauh dari bahan bakunya.”
Tsingshan, salah satu investor Tiongkok terbesar, dikenal sebagai konglomerat baja tahan karat yang sebelumnya memimpin ekspansi besar di sektor nikel Indonesia. Perusahaan ini telah mengoperasikan smelter aluminium pertamanya sejak 2023 dan dijadwalkan akan memulai operasi smelter kedua yang jauh lebih besar tahun depan.
“Ketika Tsingshan memasuki pasar aluminium, semua orang terkejut,” ujar Andy Farida, analis aluminium dari Fastmarkets. “Mereka sedang melakukan diversifikasi.”
Namun, keberhasilan proyek-proyek ini sangat bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan untuk melanjutkan rencana mereka, meskipun harga aluminium saat ini masih berada di level rendah. Analis Citigroup menyebutkan bahwa jika harga logam bertahan pada sekitar US$2.500 per ton, maka penambahan pasokan global – termasuk dari Indonesia – akan tetap terbatas.
“Banyak pihak di pasar yakin sebagian besar rencana ini tidak akan pernah terwujud,” ujar Liu Defei, analis senior yang pernah bekerja di Rio Tinto dan lembaga riset logam Tiongkok, Antaike.
Ia menyoroti persoalan pasokan energi. “Jika smelter tidak dapat mengamankan listrik yang aman dan terjangkau – termasuk konstruksi yang hemat biaya – mereka akan menemui jalan buntu.”
Dengan batu bara yang masih melimpah di Indonesia, energi ini mungkin kembali menjadi tulang punggung industri aluminium, seperti halnya pada industri nikel. Namun tantangan utama adalah memastikan ketersediaan bauksit dalam jumlah memadai guna memenuhi ambisi ekspansi para pengusaha logam dari Tiongkok.
“Saya rasa kita tidak perlu meragukan kemampuan Tiongkok,” kata Farida.
“Jika mereka mampu melakukan apa yang mereka lakukan di nikel, tidak mengherankan jika prediksinya terlihat terlalu rendah.”
Penulis: Ispanji Surya Dewantoro
Sumber: https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3317615/chinese-tycoons-drive-indonesias-aluminium-boom-echoing-nickel-success?module=perpetual_scroll_0&pgtype=article