Royalti Minerba Naik, Pemerintah Tegaskan Tak Akan Membunuh Industri

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa kebijakan kenaikan royalti di sektor pertambangan tidak akan merugikan industri. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, memastikan bahwa pemerintah telah melakukan evaluasi menyeluruh sebelum mengambil keputusan ini. Menurutnya, industri pertambangan tetap menjadi sektor strategis yang mendukung akselerasi ekonomi nasional, terutama dalam kaitannya dengan program hilirisasi.

“Yakinlah bahwa pemerintah tidak akan membunuh industri pertambangan ini. Karena memang industri pertambangan sangat diperlukan, terutama dalam kaitannya dengan hilirisasi yang mendukung akselerasi ekonomi di Indonesia,” kata Tri dalam Mining Forum, Selasa (18/3).

“Kalau misalnya kita menaikkan royalti ini untuk batubara, saya rasa tidak terlalu berat. Untuk mineral, mungkin terasa lebih berat, tetapi sebenarnya tidak juga. Artinya, pemerintah sebelum melakukan kenaikan pasti melakukan evaluasi terhadap laporan keuangan perusahaan,” ucapnya.

“Dulu, pada masa Pak Sutaryo Sigit sebagai Dirjen Minerba—saat itu masih disebut Dirjen PU—PKP2B generasi pertama meminta royalti sebesar 9%. Sementara itu, pemerintah ingin menetapkan 18%. Karena lama sekali tidak mencapai kesepakatan, mereka menghadap Pak Harto. Pak Harto menyampaikan ya sudah 18 ditambah 9 dibagi 2 saja, keluarlah 13,5%.” jelasnya.

Namun, kebijakan ini mendapat penolakan dari para pelaku industri. Asosiasi pertambangan seperti Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) meminta pemerintah menunda kenaikan tarif royalti. Mereka menilai kebijakan ini akan menambah beban operasional yang sudah meningkat akibat berbagai faktor, seperti kebijakan B40, kenaikan pajak, dan ketentuan Domestic Market Obligation (DMO). Kenaikan royalti juga dikhawatirkan menghambat investasi eksplorasi, yang berdampak pada keberlanjutan pasokan mineral dalam jangka panjang.

“Iya setahu saya beberapa asosiasi seperti IMA, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) telah mengajukan surat ke pemerintah memohon agar rencana tersebut ditunda karena akan sangat memberatkan pelaku usaha. IMA mengajukan surat ke Kementerian ESDM,” kata Hendra kepada Kontan, Minggu (16/3).

“Tanpa eksplorasi, maka keberlanjutan pasokan untuk mendukung peningkatan nilai tambah mineral (hilirisasi) akan terpengaruh untuk jangka panjang,” lanjutnya.

“Semua komoditas unggulan kita yang kontribusi besar untuk ekspor akan terdampak. Untuk batubara ada kebijakan HBA, harga domestik ke PLN yang masih dipatok US$ 70/ton,” ujar Hendra.

“Jadi tidak kompetitif,” tambahnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Fathul Nugroho, berharap pemerintah melakukan analisis sensitivitas sebelum menetapkan tarif baru. Ia menekankan perlunya keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlanjutan bisnis pertambangan agar tercipta solusi yang menguntungkan semua pihak.

“Agar ditemukan tarif royalti yang pas, sehingga tercipta win-win solution,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (16/3).

 

Sumber: https://industri.kontan.co.id/news/royalti-minerba-naik-kementerian-esdm-pemerintah-tak-membunuh-industri-pertambangan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *