Penambang Tegaskan Tidak Ada Oversupply Bauksit, Tolak Perubahan RKAB Jadi Satu Tahunan
Dilansir melalui Bloomberg Technoz pada (8/7/2025). Pelaku usaha tambang bauksit menyatakan tidak benar ada kelebihan pasokan (oversupply) yang menyebabkan harga bauksit jatuh, sehingga mereka menolak wacana pengembalian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) menjadi skema satu tahunan dari yang saat ini berlaku tiga tahunan.
Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto, menegaskan bahwa pergerakan harga bauksit di Indonesia tidak mengikuti mekanisme pasar global sebagaimana komoditas lain seperti batu bara. Hal ini disebabkan larangan ekspor bauksit mentah dan setengah jadi (washed bauxite) sejak Juni 2023. Dengan demikian, permintaan bauksit hanya bergantung pada daya serap smelter dalam negeri.
Ia menjelaskan bahwa harga bauksit yang digunakan untuk kebutuhan smelter ditentukan oleh pemerintah melalui kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM), dengan tujuan agar harga jual tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah.
“Akan tetapi, yang namanya smelter kan pintar. Ada supply, ada demand. Sekarang ada supply, demand-nya sedikit. Ini yang mereka mau, [supaya] harga itu menjadi lebih rendah dari HPM,” ujar Ronald saat dihubungi, Selasa (8/7/2025), dikutip dari Bloomberg Technoz.
Ronald juga menekankan bahwa penambang tetap wajib membayar royalti dan menjual bauksit sesuai HPM, sehingga kontribusi terhadap negara tetap berjalan. Ia menyebut bahwa dalam praktiknya, smelter membeli di bawah harga HPM, sementara royalti tetap dihitung berdasarkan HPM yang ditetapkan.
“Kalau bauksit enggak. Ini pakai HPM sekarang, US$40. Dia jual, dia beli harganya segitu. Masalahnya, smelter enggak mau harga US$40. Katakanlah seharusnya beli [harga HPM] misalnya US$30, dia [smelter] belinya US$28. Royaltinya saya hitung tetap US$30, bukan US$28. Artinya kan saya sudah memberikan kontriibusi ke pemerintah sesuai dengan HPM. Nah, semestinya smelter harusnya dikasih punishment dong [karena membeli] tidak sesuai HPM.”
Oleh karena itu, Ronald menolak alasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Komisi XII DPR RI yang menyebut oversupply produksi sebagai dasar untuk mengubah kembali sistem RKAB menjadi satu tahunan. Menurutnya, semua aktivitas penambangan sudah tercatat dan dimonitor dalam sistem yang ada, dan stok yang tersimpan bukan hasil kelebihan produksi, melainkan bentuk cadangan untuk memenuhi permintaan mendadak.
“Kita semua dimonitor kok, semua masuk sistem. Stok kita ini ada berapa. Kalau bauksit, tidak ada oversupply. Kalau ada kelebihan stok, itu bukan oversupply produksi, tetapi memang dia mencadangkan sedikit jika ada permintaan tambahan yang tiba-tiba. Karena bauksit ini kan tidak bisa tiba-tiba jadi; harus di washing, regrading, sizing, dyeing, dan sebagainya.”
Ronald pun mendesak agar pemerintah tidak mengubah sistem RKAB kembali menjadi satu tahunan, dan justru tetap mempertahankan skema tiga tahunan dengan evaluasi terhadap kekurangan sistem yang berjalan saat ini.
Data Kementerian ESDM menunjukkan tren penurunan produksi bauksit selama tiga tahun terakhir, yakni dari 31,8 juta ton pada 2022, menjadi 19,8 juta ton pada 2023, dan turun lagi menjadi 16,8 juta ton pada 2024.
Meski begitu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan telah menerima usulan dari Komisi XII DPR RI untuk kembali menggunakan skema RKAB satu tahunan. Ia menyebut langkah ini diambil karena seringnya terjadi ketidaksesuaian antara jumlah produksi dan kebutuhan pasar.
“Jadi menyangkut RKAB, memang kalau kita membuat satu tahun nanti dikirain kita ada main-main lagi. Namun, karena ini sudah menjadi keputusan politik, makanya kita lakukan. Mulai hari ini, dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, kami terima usulan dari Komisi XII untuk kita buat RKAB per [satu] tahun,” ujar Bahlil dalam rapat bersama Komisi XII, Rabu (2/7/2025).
Peraturan mengenai skema RKAB tiga tahunan sendiri baru berlaku dua tahun sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 10/2023 mengenai tata cara penyusunan dan pelaporan kegiatan pertambangan mineral dan batubara.
Ancaman terhadap Proses Hilirisasi
Terkait kebijakan HPM yang baru mulai berlaku 1 Maret 2025, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) memperingatkan bahwa proses hilirisasi bauksit dapat terganggu. Ketua Umum Perhapi, Sudirman Widhy Hartono, menyebut bahwa smelter merasa keberatan membeli bauksit dengan harga minimum sesuai aturan HPM baru karena dinilai merugikan secara ekonomi.
“Karena para penambang menghentikan operasionalnya, di pihak lain smelter juga akan berhenti berproduksi sebagai akibat ketiadaan bahan baku bijih bauksit untuk diolah,” kata Sudirman.
Ia memahami tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk memperkuat kedaulatan nasional dan mengurangi ketergantungan pada harga komoditas global. Namun demikian, ia mengingatkan agar pemerintah memperhatikan kondisi pasar yang sebenarnya sebelum menentukan harga patokan agar tidak menimbulkan ketidaksepakatan antara produsen dan pembeli.
Sudirman juga menyarankan agar pemerintah mengembalikan fungsi HPM sebagaimana sebelumnya, yaitu hanya sebagai dasar perhitungan royalti dan iuran produksi bagi penerimaan negara.
“Sehingga produsen dan buyer dapat melakukan keleluasaan untuk bertransaksi dengan harga yang layak dan dapat disepakati kedua belah pihak secara fair, guna mendapatkan profit margin dan dapat menutupi biaya operasional,” ucapnya.
Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini memiliki 14 proyek smelter mineral terintegrasi dengan total nilai investasi mencapai US$8,69 miliar (sekitar Rp144,02 triliun), yang mayoritas berasal dari sektor bauksit. Produksi bauksit Indonesia sempat mencapai titik tertinggi pada 2023 sebesar 21,8 juta ton, namun menurun setahun setelahnya akibat kebijakan larangan ekspor washed bauxite yang berlaku sejak Juni 2023.
Penulis: Ispanji Surya Dewantoro
Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/76540/penambang-bantah-bauksit-oversupply-ogah-rkab-dijadikan-1-tahun