Paruh Pertama 2025: Lima Tren Utama yang Membentuk Ulang Rantai Nilai Aluminium Global

Paruh Pertama 2025: Lima Tren Utama yang Membentuk Ulang Rantai Nilai Aluminium Global

 

Dilansir melalui Alcircle yang diterbitkan pada (2/9/2025). Paruh pertama tahun 2025 menandai momen krusial bagi industri aluminium dunia, yang dapat dikatakan sebagai periode paling penuh gejolak sepanjang sejarahnya. Penyebab utama adalah penerapan tarif tinggi oleh Amerika Serikat terhadap impor aluminium, yang menimbulkan efek domino pada rantai pasokan global.

Kebijakan perdagangan tersebut berkembang menjadi gangguan yang lebih luas, mengubah pola perdagangan lintas negara, menciptakan volatilitas harga aluminium, dan menggeser permintaan dari aluminium primer ke aluminium skrap. Dengan dukungan rantai pasok yang kuat, harga aluminium yang berada di kisaran USD 2.200 per ton, dan pembebasan tarif, permintaan skrap aluminium mencapai rekor tertinggi.

Thailand muncul sebagai pusat baru dalam permintaan aluminium, terutama didorong oleh sektor otomotif yang berkembang pesat, sehingga menggantikan Malaysia sebagai importir utama skrap aluminium. Perkembangan ini bukan sekadar perubahan sementara, melainkan sebuah rekonfigurasi mendalam dalam rantai nilai aluminium global. Sepanjang paruh kedua tahun 2025, sejumlah peristiwa diprediksi akan menentukan arah industri ini ke depan.

Sampah Aluminium sebagai Pilar Stabilitas

Saat tarif mengguncang pasar aluminium primer, skrap aluminium menjadi penopang utama stabilitas sektor. Dalam upaya mencapai target produksi rendah karbon dan keberlanjutan, banyak negara meningkatkan penggunaan skrap dengan cara meningkatkan produksi atau volume impor, atau keduanya.

Di Amerika Serikat, pemulihan dan produksi skrap aluminium berjalan paralel. Data UN Comtrade menunjukkan impor skrap aluminium AS hingga Mei 2024 sebesar 269.000 ton, meningkat menjadi 352.000 ton pada Mei 2025, atau naik 30,85 persen secara tahunan. Pada Mei 2025, impor skrap naik 8 persen secara bulanan menjadi 299.000 ton, sementara ekspor juga tumbuh 8 persen dari 177.000 ton menjadi 191.000 ton. Pemulihan skrap melonjak 14,1 persen secara bulanan dan 6 persen secara tahunan, mencapai 316.000 ton, menandakan permintaan domestik yang kuat.

Namun, lonjakan permintaan ini menimbulkan biaya besar bagi Eropa. Brussels memperingatkan bahwa pembebasan tarif AS terhadap skrap aluminium menguras cadangan logam sekunder di Eropa, merugikan pabrik daur ulang, menimbulkan kerugian pendapatan sebesar €40 miliar, dan mengancam hilangnya 25.000 pekerjaan.

Tiongkok, konsumen utama skrap aluminium lainnya, juga mengalami kenaikan impor dari 248.991 ton menjadi 299.554 ton year-to-date, meningkat 20,31 persen. Menurut BIR, produksi skrap aluminium domestik Tiongkok akan mencapai 11,77 juta ton pada 2025, naik 13,8 persen dari 2020. Siklus penggunaan skrap pelat, strip, dan foil relatif singkat dan proporsinya naik dari 43,3 persen pada 2020 menjadi 44,3 persen pada 2025. Volume skrap aluminium dengan potensi daur ulang diperkirakan mencapai 5,22 juta ton pada tahun tersebut.

Rusia, yang dikenal sebagai produsen aluminium rendah karbon, baru mendaur ulang sekitar 50 persen skrap yang tersedia. Pemerintah menargetkan peningkatan konsumsi aluminium domestik hingga 1,5 juta ton pada 2030, sehingga diperlukan peningkatan pemanfaatan skrap. RUSAL telah memasang tanur putar untuk mendaur ulang skrap konsumen dan terak aluminium, serta mengintegrasikan empat smelter dalam program penggabungan skrap aluminium ke produksi primer. Volgograd Aluminium Smelter meningkatkan volume daur ulang sebesar 74 persen, dan RUSAL telah memasok pelat rol dengan kandungan bahan daur ulang kepada mitra lama.

Karena lonjakan ekspor skrap, beberapa negara seperti Eropa dan Amerika Serikat sedang mempertimbangkan pembatasan ekspor. Jika kebijakan ini diterapkan, dapat memicu kenaikan harga skrap yang signifikan—menjadi kekhawatiran baru bagi produsen yang sudah menghadapi biaya energi dan bahan baku tinggi.

Harga Alumina Turun Karena Pasokan Melimpah

Pada akhir Juni 2025, harga alumina global di LME turun ke USD 362,14 per ton, terendah dalam tiga tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kapasitas produksi di Indonesia dan India, yang masing-masing mencapai 4,3 juta ton dan 9,43 juta ton pada pertengahan tahun. Indonesia diperkirakan akan terus meningkatkan kapasitas hingga 16 juta ton dalam lima tahun mendatang. Meskipun sektor bauksit menghadapi tantangan, seperti pencabutan konsesi oleh Guinea terhadap Guinea Alumina Corporation (GAC), produksi alumina tetap bertambah.

Otomasi dan Keberlanjutan Terus Berkembang

Meski pasar masih dinamis dan sulit diprediksi, dua fokus utama jangka panjang industri aluminium otomatisasi dan keberlanjutan terus mendapatkan perhatian. Produsen besar berinvestasi dalam teknologi digital, paduan baru, dan ekonomi sirkular untuk menekan biaya serta mengurangi jejak karbon.

Contohnya, RUSAL memperkenalkan Paduan Pengecoran Setara Primer (PEFA) yang mengandung hingga 40 persen skrap pascakonsumen dan menggunakan energi terbarukan. Perusahaan juga berhasil memproduksi aluminium Kelas A7 dengan teknologi anoda inert yang menurunkan emisi CO₂ serta mengurangi pengotor.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa industri bergerak menuju inovasi dan efisiensi lingkungan, memperkuat kepercayaan pelanggan dan mitra.

Perubahan Dinamika Perdagangan Akibat Ketegangan Geopolitik

Tarif 50 persen dari AS memicu balasan dari Kanada, Meksiko, Uni Eropa, dan Tiongkok, mengubah pola perdagangan global. Kanada dan Meksiko, sebagai pemasok utama aluminium primer dan skrap ke AS, paling terdampak. Ekspor aluminium primer Kanada turun menjadi 1,02 juta ton dalam lima bulan pertama 2025, dari 1,17 juta ton tahun sebelumnya. Namun, impor aluminium AS secara keseluruhan tetap stabil di 1,54 juta ton, dibandingkan 1,51 juta ton tahun lalu.

Uni Emirat Arab menggantikan sebagian penurunan tersebut dengan meningkatkan ekspornya menjadi 257.000 ton, naik 73,64 persen year-on-year dari 148.000 ton. India juga berkontribusi dengan memasok 54.700 ton aluminium primer, naik dari 27.900 ton tahun sebelumnya.

Ketegangan antara Barat dan Tiongkok mempengaruhi rantai pasok. Ekspor aluminium Tiongkok ke AS turun 58 persen year-on-year menjadi 60.033 ton, dari 143.815 ton sebelumnya. Sebaliknya, impor aluminium Rusia dari Tiongkok tetap relatif stabil, dengan angka 26.714 ton, sedikit turun dari 29.842 ton tahun sebelumnya.

Rusia sangat bergantung pada alumina dari Tiongkok. Pada kuartal pertama 2025, Rusia menjadi tujuan ekspor alumina terbesar Tiongkok dengan volume 142.137 ton, naik 6,9 persen dari tahun sebelumnya. Pada Juli, ekspor bulanan mencapai rekor 200.000 ton, dan total dari Januari hingga Juli mencapai 1,13 juta ton.

Aluminium Menuju Target Rendah Karbon 2030

Laporan Mission Possible Partnership (MPP) menunjukkan bahwa sektor aluminium melampaui industri berat lain dalam mencapai target dekarbonisasi 2030. Saat ini, 25 persen target sudah beroperasi atau memiliki keputusan investasi final, dengan rincian 24 persen fasilitas rendah karbon beroperasi, 1 persen dibiayai, dan 2 persen diumumkan.

Beberapa perusahaan besar berinvestasi besar-besaran dalam energi terbarukan untuk produksi aluminium yang ramah lingkungan. RUSAL memiliki akses luas ke hidroelektrik di Siberia dan menargetkan penggunaan listrik terbarukan minimal 95 persen pada 2025, saat ini sudah melebihi 90 persen.

Smelter rendah karbon RUSAL seperti Alvance Lochaber (47.500 ton), Essen (165.000 ton), Neuss (5.000 ton), serta Voerde dan San Ciprian (masing-masing 95.000 dan 228.000 ton) menjadi contoh operasional ramah lingkungan.

Teknologi peleburan inovatif RUSAL menekan emisi gas rumah kaca selama proses elektrolisis hampir mendekati nol. Dengan tenaga air, RUSAL berhasil menurunkan emisi GRK ALLOW INERTA™ menjadi 0,01 ton CO₂eq per ton aluminium, jauh di bawah rata-rata industri sebesar 11,4 ton. Pada 2023, perusahaan juga mencapai penggunaan air daur ulang sebesar 92,5 persen dalam produksi alumina dan aluminium.

Sebagai hasilnya, RUSAL meningkatkan skor EcoVadis dalam Peringkat Keberlanjutan Pemasok Global menjadi 67 dari 63 poin tahun 2024.

Kesimpulan

Bagi pelaku industri aluminium, pelajaran penting tahun 2025 adalah bahwa kelincahan menjadi keunggulan kompetitif utama. Tarif, pergeseran jalur perdagangan, dan volatilitas harga akan terus tak terduga. Sementara itu, transisi menuju keberlanjutan dan otomatisasi menjadi langkah pasti yang akan mengubah cara aluminium diproduksi, diperdagangkan, dan digunakan.

 

Penulis: Ispanji Surya Dewantoro

Sumber: https://www.alcircle.com/news/h1-2025-top-5-trends-to-watch-in-the-global-aluminium-value-chain-115330

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *