Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan keinginannya untuk membuka keran impor selebar-lebarnya, khususnya untuk barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini disampaikan dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025), yang dihadiri para menteri ekonomi, gubernur BI, OJK, dan pelaku usaha.
Namun, rencana tersebut menuai kekhawatiran dari sejumlah pihak, termasuk Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, menilai kebijakan ini justru dapat mempercepat kerusakan ekonomi nasional apabila tidak disertai dengan pengawasan dan regulasi ketat.
“Ekspor kita ditekan tarif Trump, impor kita buka liar, cadangan devisa makin terkuras, rupiah tertekan. Ini resep menuju krisis, bukan jalan keluar dari tekanan tarif Trump,” ujar Andry, Rabu (9/4/2025).
Andry menyoroti bahwa pembukaan impor tanpa batas bisa memicu defisit neraca perdagangan, mengingat surplus dagang Indonesia dalam tiga tahun terakhir terus menyusut:
-
2022: surplus US$54,5 miliar
-
2023: turun ke US$37 miliar
-
2024: kembali turun ke US$31 miliar
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tanpa adanya daya beli yang kuat, konsumsi rumah tangga—yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional—akan melemah drastis. Hal ini menciptakan efek domino yang berbahaya bagi sektor industri dan ketenagakerjaan.
“Ekonomi kita masuk ke lingkaran setan. Industri jatuh, konsumsi lesu, investor kabur, ekspor lemah, impor merajalela. Ini jelas krisis struktural,” tambahnya.
Andry juga menilai pernyataan Presiden sebagai bentuk minimnya sense of urgency dan arah kebijakan ekonomi yang kontradiktif.
“Arah kebijakannya ke mana sebenarnya? Di satu sisi kita gembar-gemborkan swasembada pangan, energi, dan hilirisasi, tapi di sisi lain kita justru membuka keran impor sebebas-bebasnya. Ini kontradiksi terang-terangan,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa jika keran impor dibuka tanpa kontrol, akan terjadi “banjir produk asing” yang memperparah kondisi industri dalam negeri yang sudah terpukul oleh PHK massal dan overcapacity, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan.
“PHK yang sudah besar akan makin meluas. Ujungnya, daya beli masyarakat juga ikut runtuh karena masyarakat kehilangan pendapatan,” ungkapnya.
Andry pun menekankan pentingnya regulasi yang tegas, selektif, dan berpihak pada kepentingan nasional untuk mencegah kehancuran ekonomi lebih lanjut.
“Kalau tidak, kita bukan hanya bicara soal industri lumpuh atau devisa habis. Ini soal kejatuhan daya beli rakyat, gelombang PHK yang makin membesar, dan hilangnya kepercayaan pada arah kebijakan ekonomi kita,” pungkasnya.
penulis: Putri Salsabila Irawan
sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250409/9/1867671/prabowo-minta-impor-dibuka-indef-ekonomi-bisa-rusak