Ekspor Bauksit Guinea Naik 36% pada 2025 di Tengah Ketidakpastian Politik dan Tekanan Hilirisasi

Ekspor Bauksit Guinea Naik 36% pada 2025 di Tengah Ketidakpastian Politik dan Tekanan Hilirisasi

 

Dilansir melalui Alcircle yang diterbitkan pada (28/08/2025). Sepanjang enam bulan pertama tahun 2025, Guinea mencatat ekspor bauksit sebesar 99,8 juta ton, naik 36% dari 73,4 juta ton pada periode yang sama tahun 2024. Jumlah ini hampir menyamai total produksi nasional pada 2022. Kenaikan ini melanjutkan tren pertumbuhan sebelumnya, dengan ekspor meningkat 19,6% pada 2023 menjadi 127 juta ton, dan naik lagi 14% pada 2024 menjadi 145 juta ton.

Yang menjadikan lonjakan terbaru ini menonjol adalah konteksnya: Guinea sedang menghadapi gejolak politik, adanya pembatasan hak tambang oleh pemerintah junta, serta kekhawatiran investor yang terus meningkat.

Peran Sentral Tiongkok dalam Lonjakan Ekspor

Tiongkok memainkan peran penting dalam peningkatan ekspor ini. Sekitar 60% bauksit Guinea dikirim ke Tiongkok, yang mencatatkan pertumbuhan sekitar 4% dalam produksi aluminium selama lima bulan pertama tahun 2025. Kenaikan ini ditopang oleh pemulihan sektor konstruksi dan manufaktur di negara tersebut.

Infrastruktur ekspor juga mengalami peningkatan. Jumlah pelabuhan yang digunakan bertambah dari lima menjadi sembilan, termasuk Kamsar, Boké, Dapilon, dan Katougouma. Di kuartal pertama 2025, tercatat 312 kapal meninggalkan pelabuhan Guinea, meningkat 39% dibandingkan 225 kapal pada periode yang sama tahun lalu.

Sementara Guinea Alumina Corporation (GAC) tidak lagi beroperasi, perusahaan lain mengambil peran lebih besar. Société Minière de Boké (SMB) yang memiliki dukungan Tiongkok meningkatkan volume produksinya, dan Alliance Guinéenne de Bauxite, d’Alumine et d’Aluminium (AGB2A/SDM) meningkatkan efisiensi untuk menjaga pengiriman tetap berjalan lancar.

Kebijakan Pemerintah dan Dampaknya di Pasar

Ketidakstabilan politik terus menjadi faktor utama. Pada Agustus 2025, pemerintah mencabut konsesi milik Emirates Global Aluminium (EGA) karena GAC tidak memenuhi komitmen untuk membangun kilang alumina di dalam negeri. GAC telah menghentikan ekspor sejak akhir 2024, dan sekitar 2 juta ton bijih tertahan di pelabuhan Kamsar. Konsesi tersebut kemudian dialihkan ke Perusahaan Pertambangan Nimba (NMC) yang baru dibentuk dan dimiliki negara.

Pejabat menyampaikan bahwa perubahan ini ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pengolahan dalam negeri. Namun, investor memandang langkah ini sebagai indikasi meningkatnya nasionalisme sumber daya serta ketidakpastian dalam regulasi.

Harga bauksit di pasar global juga mengalami kenaikan, dari sekitar USD 70 menjadi lebih dari USD 75 per ton di awal 2025. Pedagang memperingatkan bahwa musim hujan bisa memperburuk situasi dengan menghambat transportasi dan memperlambat kegiatan pelabuhan.

Minimnya Kapasitas Penyulingan dan Ketergantungan pada Ekspor Mentah

Guinea memiliki cadangan bauksit sangat besar, yaitu 7,4 miliar ton, atau hampir sepertiga dari total cadangan global. Namun, hampir seluruh produksi masih diekspor dalam bentuk mentah karena keterbatasan fasilitas penyulingan di dalam negeri.

Satu-satunya kilang alumina berskala besar adalah kilang Friguia milik Rusal, dengan kapasitas produksi sekitar 600.000 ton per tahun. Jumlah ini hanya sebagian kecil dari sekitar 200 juta ton bijih yang ditambang setiap tahun.

Kondisi ini membuat Guinea sangat tergantung pada pembeli luar, terutama dari Tiongkok. Perusahaan seperti SMB dan CHALCO menguasai sebagian besar ekspor untuk memenuhi kebutuhan industri aluminium Tiongkok.

Namun, upaya untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor mentah sedang berjalan. Contohnya, State Power Investment Corporation (SPIC) dari Tiongkok tengah membangun kilang alumina dengan kapasitas sekitar 1,2 juta ton per tahun, yang ditargetkan mulai beroperasi pada 2027. Di sisi lain, beberapa perusahaan lokal juga telah mengajukan rencana pembangunan kilang.

Pandangan

Meski ekspor bauksit Guinea sedang mengalami pertumbuhan yang signifikan, sektor ini masih menghadapi risiko besar. Ketidakpastian politik, nasionalisasi, dan kurangnya fasilitas pengolahan dalam negeri menjadi hambatan utama. Tantangan terbesarnya adalah mewujudkan nilai tambah di dalam negeri, yang sangat bergantung pada stabilitas politik, komitmen investasi, dan realisasi proyek hilirisasi. Sampai itu terwujud, posisi Guinea dalam rantai pasok aluminium global akan tetap penting, namun rentan.

Ekspor bauksit Guinea terus mencatat pertumbuhan signifikan meski diwarnai ketidakstabilan politik, tekanan terhadap hilirisasi, dan ketergantungan tinggi pada Tiongkok, menjadikannya pemain penting namun rentan dalam rantai pasok aluminium global.

 

Penulis: Ispanji Surya Dewantoro

Sumber: https://www.alcircle.com/news/guineas-bauxite-boom-exports-up-36-despite-political-uncertainty-115264

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *