ABI Surati Menteri ESDM, Minta Relaksasi HPM Bauksit Ditinjau Ulang
Dilansir melalui Bloomberg Technoz yang diterbitkan pada (3/9/2025). Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) saat ini sedang mempersiapkan surat keberatan terhadap keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang baru-baru ini mencabut kewajiban penggunaan Harga Patokan Mineral (HPM) sebagai dasar transaksi antara penambang dan smelter.
Surat tersebut berisi permintaan ABI agar Menteri Bahlil meninjau ulang keputusan pelonggaran HPM sebagai acuan dalam perdagangan bauksit di pasar. Ketua Umum ABI, Ronald Sulisyanto, menyatakan bahwa surat ini sedang dalam tahap akhir sebelum disampaikan kepada Kementerian ESDM. Ronald menginginkan agar transaksi bauksit tetap mengacu pada peraturan sebelumnya yang mewajibkan penggunaan HPM.
“Tinjau ulang keputusan menteri (Kepmen) yang kemarin, khusus untuk mineral bauksit dikecualikan, harus mengikuti HPM,” kata Ronald saat dihubungi pada Rabu (3/9/2025), dikutip dari Bloomberg Technoz.
Sebelumnya, Bahlil menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara, yang ditandatangani pada 8 Agustus 2025. Aturan ini mencabut Keputusan Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 yang disahkan pada 24 Februari 2025. Kebijakan sebelumnya mewajibkan transaksi penjualan mineral mengacu pada HPM.
Meski begitu, HPM tetap digunakan sebagai dasar dalam penghitungan pajak dan iuran produksi.
Ronald menjelaskan bahwa sebagian penambang bauksit saat ini memilih untuk menunda pengiriman bahan baku ke smelter setelah terbitnya peraturan baru. Hal ini disebabkan oleh adanya permintaan dari beberapa smelter untuk meninjau ulang harga dalam kontrak jual beli bauksit, karena aturan baru memungkinkan pembelian dengan harga di bawah HPM.
“Ini kan ambigu kalau smelter boleh menawar di bawah harga HPM penambang rugi, penambang harus membayar royalti berdasarkan HPM yang ditetapkan pemerintah,” ujarnya.
Masalah serupa juga dihadapi oleh penambang bijih nikel setelah kebijakan relaksasi HPM diterbitkan pada pertengahan bulan lalu. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai bahwa perubahan aturan terkait kewajiban penggunaan HPM dalam transaksi penjualan mineral logam dapat berdampak pada penambang kecil, bahkan mengancam kelangsungan usaha mereka.
“Penambang kecil yang biaya produksinya tinggi bisa tidak bertahan. Bisa mendorong konsolidasi tambang ke pemain besar atau integrasi dengan smelter,” ungkap Anggota Dewan Penasehat Pertambangan APNI, Djoko Widajatno, saat dihubungi Rabu (27/8/2025).
Sebelum peraturan baru ini diterbitkan, penjualan komoditas mineral seperti nikel, bauksit, dan tembaga wajib mengacu pada HPM sebagai harga dasar. Namun, sejak diberlakukannya Kepmen 268/2025, penjualan mineral logam diperbolehkan dilakukan di bawah HPM atau mengikuti mekanisme pasar melalui negosiasi, meskipun perhitungan royalti dan PNBP tetap menggunakan HPM.
Adapun penetapan harga acuan mineral dilakukan setiap tanggal 1 dan 15 pada bulan berjalan.
ABI tengah menyusun surat keberatan kepada Menteri ESDM untuk meminta peninjauan ulang relaksasi aturan HPM, karena kebijakan baru yang memperbolehkan transaksi mineral di bawah HPM dinilai merugikan penambang dan menimbulkan ketidakpastian, meskipun HPM tetap digunakan untuk perhitungan royalti dan PNBP.
Penulis: Ispanji Surya Dewantoro
Sumber: https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/82829/penambang-bauksit-surati-bahlil-soal-aturan-baru-hpm