Tarif Aluminium Trump Mengganggu Perdagangan Global, UKM Hadapi Tekanan Berat

Tarif Aluminium Trump Mengganggu Perdagangan Global, UKM Hadapi Tekanan Berat

 

Dilansir melalui Alcircle pada (12/08/2025). Kebijakan tarif aluminium yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump — dimulai sebesar 25 persen pada Maret 2025 dan meningkat menjadi 50 persen pada Juni — telah mengubah peta perdagangan aluminium global, mengganggu rantai pasok, dan menggoyahkan dinamika industri secara keseluruhan.

Perusahaan besar seperti Alcoa, Rio Tinto, Rusal, Chalco, dan Hindalco Industries merasakan beban besar akibat kebijakan ini. Alcoa melaporkan pengeluaran terkait tarif sebesar USD 115 juta pada kuartal kedua 2025. Rio Tinto mengalami kerugian lebih dari USD 300 juta dalam kurun enam bulan, sangat dipengaruhi oleh ekspor Kanada ke pasar Amerika Serikat.

Tarif ini tidak hanya memangkas margin keuntungan, tetapi juga mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk menyesuaikan strategi mereka. Banyak yang memilih mengalihkan pengiriman ke kawasan Eropa dan Asia, berinvestasi pada sektor aluminium yang tidak terkena tarif seperti aluminium untuk baterai kendaraan listrik (EV), serta menunda operasi yang memiliki biaya tinggi. Perusahaan besar masih memiliki keuntungan dari jaringan global, efisiensi skala, dan cadangan dana yang besar di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian. Namun, bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), situasinya jauh lebih berat. Dengan margin tipis, akses pasar terbatas, dan modal terbatas, banyak UKM berada dalam posisi terancam.

UKM Dihantam Kenaikan Biaya dan Krisis Arus Kas

Berbeda dengan perusahaan besar yang mampu menyerap dampak tarif dan melakukan diversifikasi secara global, UKM tidak memiliki sumber daya sebesar itu. Mereka menghadapi lonjakan biaya bahan baku akibat tarif dan kesulitan untuk membebankan kenaikan biaya tersebut kepada pelanggan.

UKM yang mengandalkan ekspor ke pasar AS melaporkan penurunan pesanan hingga 30 persen, serta penundaan pembayaran rata-rata satu bulan. Hal ini menimbulkan tekanan pada arus kas dan mengancam keberlangsungan operasional bisnis mereka.

Corona Steel Industry Pvt Ltd, sebuah UKM yang berbasis di Benggala Barat dan mengekspor produk aluminium ke Amerika Serikat, menyebut kenaikan tarif hingga 50 persen sebagai “paku di peti mati.”

Naresh Sharma, sosok penting dari satu-satunya eksportir Panel Komposit Aluminium di Bengal, menyampaikan:

“Seandainya AS, yang telah diperlengkapi dengan kebijakan tarifnya yang bergejolak, berhasil menghindari perang dagang yang merugikan, para importir kami di Chicago, New York, dan Washington pasti akan bernapas lega. Hal itu tentu akan membantu eksportir produk yang kurang dikenal seperti kami untuk tetap beroperasi dengan lancar.”, ujarnya dikutip dari Alcircle.

Strategi Bertahan UKM

India memiliki sekitar 5.000 pabrik pengecoran, termasuk 400 yang melayani pasar domestik dan ekspor. Banyak perusahaan pendukung kecil yang memproduksi klem, braket, dan produk lembaran logam menghadapi pembatalan pesanan dan penundaan pembayaran secara tajam. Selain itu, tekanan meningkat akibat masuknya produk impor dari Tiongkok yang lebih murah, memaksa sejumlah UKM mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 30 hingga 40 persen.

Sebagai langkah adaptasi, banyak UKM mencoba mengalihkan ekspor ke pasar baru seperti Peru dan Chili di Amerika Latin, serta meningkatkan fokus pada penjualan dalam negeri. Namun, permintaan domestik masih cenderung sedang dan belum mampu menutup kehilangan pasar di AS secara penuh. Banyak pelaku UKM juga meminta dukungan langsung dari pemerintah dalam bentuk perjanjian dagang atau pengurangan tarif untuk menjaga daya saing ekspor mereka.

UKM Eropa dan Kanada Ikut Terpukul

UKM di Eropa mengalami penurunan daya saing yang signifikan di pasar Amerika akibat tarif antara 25 hingga 50 persen terhadap produk aluminium setengah jadi. Hal ini mendorong banyak dari mereka untuk mengalihkan ekspor ke pasar lain, mengganggu pola perdagangan yang sebelumnya stabil.

Sementara itu, ekspor aluminium bekas bebas tarif dari Eropa ke AS melonjak, menyebabkan kekurangan pasokan lokal dan mendorong kenaikan harga bahan baku. Di sisi lain, UKM Eropa juga harus menghadapi kenaikan biaya karena Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) dan naiknya harga energi, yang memperberat tekanan operasional dan regulasi.

Untuk mengatasi tekanan tersebut, beberapa UKM mulai berinvestasi dalam pengelolaan sampah dan kegiatan daur ulang guna menekan biaya. UKM lainnya melobi agar diberikan keringanan aturan untuk meringankan beban dari CBAM dan kenaikan harga energi.

Di Kanada, UKM aluminium yang sebelumnya menjadi bagian dari rantai pasok Amerika Utara kini harus berhadapan dengan tarif balasan. Akibatnya, mereka terpaksa mengalihkan ekspor ke pelabuhan-pelabuhan di Eropa seperti Rotterdam dan Trieste. Langkah ini menambah biaya logistik, mengganggu rantai pasok yang sudah terbentuk, dan paling berdampak pada produsen berskala kecil.

Di tengah menurunnya permintaan global dan meningkatnya persaingan, UKM Kanada berusaha mencari pasar baru di Asia dan Eropa. Namun, keterbatasan infrastruktur dan sumber daya menjadi hambatan. Beberapa UKM mulai fokus meningkatkan nilai tambah produk serta mengelola proses produksi secara mandiri untuk melindungi diri dari fluktuasi harga bahan baku.

Tarif aluminium yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump telah mengguncang perdagangan global, menekan perusahaan besar, dan menimbulkan krisis bagi UKM di berbagai negara yang kini berjuang bertahan di tengah lonjakan biaya, gangguan rantai pasok, dan penurunan permintaan ekspor.

 

Penulis: Ispanji Surya Dewantoro

Sumber: https://www.alcircle.com/news/trump-aluminium-tariffs-shake-industry-how-are-smes-surviving-the-storm-115056

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *