Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok justru membuka peluang strategis bagi Indonesia, terutama melalui pemanfaatan cadangan mineral kritis nasional seperti nikel dan tembaga. Komoditas ini kini menjadi komponen penting dalam industri teknologi global, mulai dari kendaraan listrik hingga infrastruktur digital.
Ekonom INDEF, Esther Sri Astuti, menilai bahwa keberadaan mineral kritis Indonesia dapat menjadi penyelamat perekonomian di tengah gejolak geopolitik dunia. “Mineral kritis masih sangat dibutuhkan oleh AS. Karena itu, besar harapan Indonesia untuk tetap eksis dan survive meski ada perang dagang AS-China,” ujarnya dalam keterangan pada Selasa (15/4/2025).
Esther menegaskan pentingnya hilirisasi sebagai langkah strategis agar Indonesia tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah. “Jangan hanya mengekspor dalam bentuk mentah. Kita harus tambahkan nilai, kita olah dulu, kita hilirisasi, baru ekspor,” tambahnya.
Salah satu contoh konkret adalah tembaga dari tambang Freeport di Papua, yang dapat diolah menjadi produk setengah jadi sebelum diekspor ke pasar AS. Negara tersebut kini tengah mencari alternatif rantai pasok di luar Tiongkok sebagai imbas dari tensi geopolitik yang meningkat.
Adapun, AS baru-baru ini menunda penerapan tarif resiprokal yang seharusnya berlaku mulai 9 April 2025. Penundaan selama 90 hari ini dinilai sebagai momentum emas yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat strategi ekspor berbasis mineral kritis.
“Pemerintah harus memanfaatkan waktu ini dengan baik. Walaupun tidak bisa menggantikan posisi China secara penuh, Indonesia tetap memiliki peluang menembus pasar AS,” ujar Esther menutup pernyataannya.
Melalui strategi hilirisasi dan pengelolaan komoditas kritis secara cerdas, Indonesia diyakini dapat memperkuat posisinya dalam rantai pasok global sekaligus meningkatkan daya saing ekonomi di tengah dinamika perdagangan internasional.
Penulis: Putri Salsabila Irawan
Sumber: https://www.beritasatu.com/ekonomi/2883099/mineral-kritis-jadi-senjata-indonesia-hadapi-perang-dagang-as-china