Ekonom: Tekanan Global Ancam Stabilitas Rupiah dan Fiskal RI

Indonesia tengah menghadapi dua tekanan global yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi, yaitu kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menunda pelonggaran suku bunga serta lonjakan harga minyak dunia. Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa kondisi ini dapat berdampak pada nilai tukar rupiah, inflasi energi, dan keseimbangan fiskal nasional.

“Kombinasi ini menciptakan tekanan ganda terhadap stabilitas nilai tukar, inflasi energi, serta keseimbangan fiskal Indonesia,” ujar Syafruddin dalam keterangannya, Selasa (25/3/2025).

Menurutnya, keputusan The Fed yang menahan suku bunga akan membuat arus modal tetap mengalir ke aset berbasis dolar AS, yang berisiko menyebabkan pelemahan rupiah. Sementara itu, harga minyak dunia mengalami lonjakan dengan Brent mencapai US$72,16 per barel dan WTI US$68,28 per barel. Kenaikan ini, kata Syafruddin, bukan hanya faktor teknis, tetapi juga dampak dari sanksi baru AS terhadap ekspor minyak Iran serta ketegangan produksi dalam OPEC+.

Sebagai negara net importir energi, Indonesia dapat menghadapi berbagai konsekuensi seperti meningkatnya beban subsidi energi, tekanan inflasi yang lebih tinggi, serta memburuknya neraca transaksi berjalan. Oleh karena itu, Syafruddin menekankan pentingnya respons cepat dan sinergi antara pemerintah serta otoritas keuangan.

“Dalam situasi seperti ini, pemerintah dan otoritas keuangan harus berbicara dalam satu suara,” tegasnya.

Syafruddin juga menyoroti pentingnya strategi jangka pendek dan jangka menengah. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu fokus pada perlindungan daya beli masyarakat melalui bantuan langsung, insentif bagi UMKM, serta pengendalian harga pangan. Sedangkan dalam jangka menengah, transisi energi menjadi langkah esensial guna mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak dan meningkatkan ketahanan energi nasional.

Ia menegaskan bahwa kebijakan yang diambil harus memastikan stabilitas ekonomi tanpa mengorbankan sektor produktif. “Optimisme pasar adalah modal awal, tetapi tanpa ketahanan, optimisme bisa berubah menjadi euforia yang rapuh,” pungkasnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *